Senin, 29 Maret 2010

"Komik Kita Hanya Mati Suri"


Menjadi budak di negeri sendiri. Begitulah salah seorang pengamat komik menggambarkan kondisi komik lokal saat ini. Komik-komik lokal memang sangat sulit dijumpai di pasaran komik Indonesia. Coba saja lihat di took-toko buku ternama. Ribuan komik impor dalam berbagai judul dijajar dalam beberapa blok. Mungkin ada beberapa di antaranya yang termasuk komik lokal, tapi coba bandingkan jumlahnya dengan jumlah komik impor yang ada.

Saya bukanlah pengamat komik seperti yang telah melontarkan perumpamaan di atas. Tapi adanya perumpaan tersebut membuat saya tergelitik untuk sedikit melihat ke dalam diri saya sendiri. Mungkin, dulu saya termasuk salah satu orang yang membuat komik lokal semakin terpuruk. Jujur, sampai sekarang saya bukan pecinta komik lokal. Saya ingat betul komik pertama yang saya baca waktu SD adalah komik terjemahan Jepang, SHOOT. Komik yang berkisah tentang perjuangan beberapa siswa, Toshi, Kenji, Kazuhiro, dkk, atas kecintaannya terhadap dunia sepak bola. Saat teman-teman menggandrungi Doraemon dnegan kantong ajaibnya, saya lebih tertarik mengikuti setiap edisi komik SHOOT. Saya memang tertarik pada komik ini dari segi cerita.

Mungkin saat itu ada bebera komik lokal juga disewakan di beberapa persewaan komik. Dan ternyata saya sama sekal tidak tertarik untuk membacanya. Dari bukunya yang lebih tipis, kertas yang kucel, gambar yang menurutnya saya terlalu semrawut atau ‘penuh’, da sampul yang menurut saya tidah indah membuat saya berpikiran bahwa ceritanya sama sekali tidak menarik (maklum….anak SD masih mencari komik yang enak di mata untuk dibaca ^^). Saya memang cenderung tertarik membaca sebuah komik dari tampilan luar dulu. Bahkan sama-sama komik Jepang pun belum tentu say abaca semua. Waktu itu saya berpendapat bahwa komik dengan gambar ‘cantik’ pasti memiliki alur cerita yang bagus.

Beranjak remaja, saya mulai melirik novel. Untuk yang satu ini saya tak pernah pandang bulu. Semua jenis novel saya lahap. Terang saja, novel hanya berisi tulisan dari awal sampai akhir. Saya tidak perlu merasa terganggu dengan gambar yang saya kurang suka untuk membacanya. Tapi suatu kali saya pernah menemukan novel yang sedikit berbeda. Novel yang mengisahkan pengalaman Olin dan kawan-kawannya memiliki cerita yang ringan dan sesuai untuk dibaca remaja. Yang membuat komik ini berbeda ada beberapa bagian dari novel ini yang dikomikkan. Menurut saya, ide ini sangat bagus. Hingga akhirnya ada istilah nomik – novel komik. Dengan gambar yang masih sangat sederhana tanpa memperhatikan detailnya, dan kalah jauh bila dibandingkan komik impor lain, nampaknya cukup membuat pembaca tidak bosan untuk membaca novel ini. Apalagi narasi cerita yang semula berbentuk novel mebuat orang tak lagi memperhatikan apakah gambar itu jelek atau bagus.

Duduk di bangku kuliah, saya tidak lagi membaca komik sesering waktu kecil. Tapi saya mulai sedikit ‘ngeh’ dengan kondisi industri komik Indonesia. Lahir di tengah zaman yang disebut-sebut sebagai masa terpuruknya komik lokal semakin membuat saya tak mengenal komik lokal. Terlebih lagi, serbuan komik impor yang merajai pasaran sudah cukup meracuni saya sejak kecil. Apa yang saya alami waktu itu mungkin mewakili beberapa remaja Indonesia saat ini. Bahkan sampai sekarang pun banyak asumsi yang kurang mengenakkan terhadap komikus lokal dan karya-karyanya. Seperti pendapat saya waktu SD – gambar yang jelek, cerita kurang menarik, kuno. Mungkin hanya orang-orang yang ingin bernostalgia saja yang mau membaca komik klasik.

Beberapa hari mendampingi orang yang tengah mencoba untuk berkarya melaului sebuah komik, membuat saya sedikit ‘melek’ akan keberadaan komik lokal yang sebenarnya. Anggapan bahwa komik lokal mati atau tenggelam di antara serbuan komik impor tak sepenuhnya benar. Apalagi pernyataan bahwa komik lokal menjadi budak di negeri sendiri. Geliat untuk terus berkarya masih terus bergelora dalam diri komikus-komikus muda Indonesia. Mereka terus belajar dan berkarya meski harus diproduksi dan dipasarkan secara indie. Itulah…komik lokal itu hanya mati suri.

Sedikit mengecewakan juga mendapati beberapa penggemar komik yang anti terhadap komik lokal. Mereka mencecar para komikus lokal dengan karya-karyanya. Seolah memajukan komik lokal itu hanyalah tugas para komikus. Mereka selalu menuntut para komikus untuk terus belajar dan berkarya lebih baik. Tapi belum tentu komikus dengan karya brilian pun akan dilirik oleh pembaca. Jelas saja, karena setiap pembaca memiliki standar yang berbeda dalam menilai sebuah komik. Mungkin ada dari mereka berpendapat komik dengan style manga-lah yang baik. Padahal tidak semua bisa disejajarkan. Tapi bagaimana pembaca bisa melihat bagaimana perjuangan komik lokal untuk bisa kembali bangun dari mati surinya. Banyak kekurangan itu pasti. Kalaupun ada beberapa komikus lokal yang memakai nama agak berbau Jepang, bisa jadi si komikus juga menggemari komik impor dari negara matahari terbit tersebut. Atau memang dia terinspirasi untuk membuat komik yang sejenis. Kreativitas juga perlu waktu untuk mengasahnya kan?

Di sini saya juga berdiri sebagai pembaca. Saya memang berharap para komikus lokal untuk terus belajar dan berkarya dengan style mereka sendiri. Akan tetapi, dari pembaca pun harusnya tidak bersikap apatis dan selalu underestimate karya-karya komikus lokal. Dukungan pembaca pun harusnya sangat membantu perkembangan komik lokal Indonesia. Menggemari komik impor bukan berarti harus meninggalkan komik lokal kan? Buat apa pembaca terus meminta para komikus untuk terus belajar, kalau masyarakat pembacanya sendiri tak pernah mendukung? Di mana harapan mereka agar komik Indonesia semakin maju itu akan berujung?

Saya memang bukan lagi pecinta komik, tapi saya yakin komik-komik kita hanya mati suri kala itu. (^^)

Tidak ada komentar: